yang masih punya hati mohon do'anya,!! nenek ini Hanya Bisa Menjerit Saat Kelaparan, Nasib Nenek Sebaatang Kara baca selngkabnya.... yang sayang sama orangtuanya di bagikan ya....
usianya yang telah senja, Satreya (95), warga Dusun Batu Putih, Desa Larangan Dalam, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, hidup dengan banyak terbatasnya.
Dinding-dinding tempat tinggalnya, yang terbuat dari anyaman bambu, bolong-bolong dari beragam segi. Atap genting telah mulai berjatuhan dibagian depan serta belakang. Rumah memiliki ukuran 3 mtr. x 4 mtr. itu ditempati sendirian sesudah suaminya, Dasuki, wafat sekitaran 30 th. lantas.
Rumah tinggal Satreya tanpa ada sekat di dalamnya. Tidak ada perlengkapan rumah tangga di dalamnya. Cuma ada tempat tidur yang terbuat dari bambu beralaskan tikar daun. Peralatan masak juga tak ada. Cuma ada tungku serta satu wadah terbuat dari tanah yang dipakai untuk memasak air.
Lampu penerangan juga tidak ada. Masuk emper rumah Satreya, bau pesing telah tercium. Maklum, tidak ada tempat mandi maupun jamban untuk buang air besar. Lubang kecil berdiameter 10 sentimeter dengan kedalaman sekitaran 50 sentimeter jadi tempat untuk Satreya untuk buang air besar.
" Biasanya, bila dia buang air besar, dia merangkak keluar tempat tinggalnya bila tengah tak ada orang, " tutur Bunaya, tetangga Satreya, Kamis (21/5/2015).
Untuk buang air kecil juga, Satreya juga merangkak ke depan rumahnya. Setimba air yang disiapkan Arsia, keponakan Satreya, di depan tempat tinggalnya, jadi air untuk membersihkannya. " Saya tak sehari-hari membantu Satreya lantaran tempat tinggal saya jauh, " kata Arsia.
Sebagai orang yang menjaga keseharian Satreya, Arsia senantiasa
Dinding-dinding tempat tinggalnya, yang terbuat dari anyaman bambu, bolong-bolong dari beragam segi. Atap genting telah mulai berjatuhan dibagian depan serta belakang. Rumah memiliki ukuran 3 mtr. x 4 mtr. itu ditempati sendirian sesudah suaminya, Dasuki, wafat sekitaran 30 th. lantas.
Rumah tinggal Satreya tanpa ada sekat di dalamnya. Tidak ada perlengkapan rumah tangga di dalamnya. Cuma ada tempat tidur yang terbuat dari bambu beralaskan tikar daun. Peralatan masak juga tak ada. Cuma ada tungku serta satu wadah terbuat dari tanah yang dipakai untuk memasak air.
Lampu penerangan juga tidak ada. Masuk emper rumah Satreya, bau pesing telah tercium. Maklum, tidak ada tempat mandi maupun jamban untuk buang air besar. Lubang kecil berdiameter 10 sentimeter dengan kedalaman sekitaran 50 sentimeter jadi tempat untuk Satreya untuk buang air besar.
" Biasanya, bila dia buang air besar, dia merangkak keluar tempat tinggalnya bila tengah tak ada orang, " tutur Bunaya, tetangga Satreya, Kamis (21/5/2015).
Untuk buang air kecil juga, Satreya juga merangkak ke depan rumahnya. Setimba air yang disiapkan Arsia, keponakan Satreya, di depan tempat tinggalnya, jadi air untuk membersihkannya. " Saya tak sehari-hari membantu Satreya lantaran tempat tinggal saya jauh, " kata Arsia.
Sebagai orang yang menjaga keseharian Satreya, Arsia senantiasa
kirim nasi yang telah dimasak di tempat tinggalnya. Sebab, Satreya telah tak dapat masak sendiri. Bahkan juga, penglihatannya telah rabun serta tak dapat mengetahui siapa juga.
Pendengaran Satreya juga sekian. Tidak dapat menangkap perbincangan orang lain, terkecuali mesti bersuara keras. " Sehari-hari kebutuhannya saya cermati. Ya seadanya serta semampu saya lantaran ekonomi saya juga pas-pasan, " kata Arsia.
Arsia bercerita, Satreya pada saat mudanya jadi dukun pijat bayi. Berbarengan suaminya, Dasuki, Satreya tak dikaruniai anak. Bersamaan dengan usianya yang makin tua, kemampuan Satreya memijat juga menyusut.
" Dahulu sangatlah ramai warga memijatkan anaknya kesini. Namun, saat ini telah tak ada sekalipun, " kata dia.
Walau dalam kondisi serba terbatas, Arsia mengakui ikhlas menjaga bibinya. Tetapi, dia terasa kesusahan saat bibinya jatuh sakit. Berstatus janda, Arsia mesti pontang-panting memohon bantuan tetangganya untuk menolong serta temani Satreya di tempat tinggalnya.
" Andaikata ada yang menolong meringankan beban hidupnya, sekurang-kurangnya saya dapat konsentrasi merawatnya, " kata Arsia yang setiap harinya jadi buruh tani.
Satrawi, tetangga Satreya yang lain, mengaku, bila tengah lapar, Satreya kerap berteriak sendirian, bahkan juga hingga menangis. Bila keadaannya sekian, Satrawi menyuruh istrinya untuk mengantarkan makanan ke tempat tinggal Satreya. " Mungkin saja kiriman nasinya telat atau lupa hingga Satreya teriak-teriak kelaparan, " tutur dia.
Sebagai tetangga, Satrawi kerap mengintip Satreya dari celah-celah lubang dinding tempat tinggalnya sebelum melancong jauh. Hal semacam itu untuk meyakinkan keadaan Satreya. " Saya kawatir dia sakit atau wafat dalam kondisi sendirian. Maka dari itu, saya selalu mengintipnya, " tutur dia.
Pendengaran Satreya juga sekian. Tidak dapat menangkap perbincangan orang lain, terkecuali mesti bersuara keras. " Sehari-hari kebutuhannya saya cermati. Ya seadanya serta semampu saya lantaran ekonomi saya juga pas-pasan, " kata Arsia.
Arsia bercerita, Satreya pada saat mudanya jadi dukun pijat bayi. Berbarengan suaminya, Dasuki, Satreya tak dikaruniai anak. Bersamaan dengan usianya yang makin tua, kemampuan Satreya memijat juga menyusut.
" Dahulu sangatlah ramai warga memijatkan anaknya kesini. Namun, saat ini telah tak ada sekalipun, " kata dia.
Walau dalam kondisi serba terbatas, Arsia mengakui ikhlas menjaga bibinya. Tetapi, dia terasa kesusahan saat bibinya jatuh sakit. Berstatus janda, Arsia mesti pontang-panting memohon bantuan tetangganya untuk menolong serta temani Satreya di tempat tinggalnya.
" Andaikata ada yang menolong meringankan beban hidupnya, sekurang-kurangnya saya dapat konsentrasi merawatnya, " kata Arsia yang setiap harinya jadi buruh tani.
Satrawi, tetangga Satreya yang lain, mengaku, bila tengah lapar, Satreya kerap berteriak sendirian, bahkan juga hingga menangis. Bila keadaannya sekian, Satrawi menyuruh istrinya untuk mengantarkan makanan ke tempat tinggal Satreya. " Mungkin saja kiriman nasinya telat atau lupa hingga Satreya teriak-teriak kelaparan, " tutur dia.
Sebagai tetangga, Satrawi kerap mengintip Satreya dari celah-celah lubang dinding tempat tinggalnya sebelum melancong jauh. Hal semacam itu untuk meyakinkan keadaan Satreya. " Saya kawatir dia sakit atau wafat dalam kondisi sendirian. Maka dari itu, saya selalu mengintipnya, " tutur dia.
yang masih punya hati mohon do'anya,!! nenek ini Hanya Bisa Menjerit Saat Kelaparan, Nasib Nenek Sebaatang Kara baca selngkabnya.... yang sayang sama orangtuanya di bagikan ya....
Reviewed by Unknown
on
22.37
Rating:

Tidak ada komentar